SALAH
satu pertanyaan yang sering diajukan sahabat-sahabat penulis muda pada saya
adalah, “Bagaimana cara menulis puisi yang baik?” Kata “baik” di sana, memang
membuatkan saya tidak boleh menjawabnya dengan tergesa-gesa. Sebab, saya harus
mendudukkan lebih dahulu makna dari kata “baik” itu jika digunakan untuk puisi.
Saya khuatir, jika kata “baik” dimaknai untuk menunjukkan sesuatu yang teratur,
yang sopan, yang rapi, yang bersih, dan yang sejenisnya, maka menjadi tidak
tepat kata “baik” itu diperuntukkan bagi puisi. Kenapa?
Sebagaimana
sifat sebuah karya seni, puisi tentu tidak boleh dikongkong oleh satu kriteria
“baik” dalam makna yang umum. Sebab karya seni selalu “memberontak” daripada
konvensi-konvensi biasa. Karya seni harus menemukan bahasa ucap (ekspresi) yang
berbeza daripada realiti seharian. Apalagi puisi, yang memang diberi kebebasan
yang luas untuk melakukan “pembongkaran” bahasa. Kalau kriteria “baik” secara
umum dipakai, maka ketika Chairil Anwar berteriak lewat puisi, “akulah binatang
jalang…” tentu dicap dia menghasilkan bukan puisi yang baik.
Tapi,
sebenarnya saya faham arah pertanyaan penulis muda itu. Dia agaknya kerap
dihinggapi rasa bingung ketika harus menulis sebuah puisi yang “baik” sehingga
dapat diterima di sebuah media massa atau barangkali untuk peraduan-peraduan
yang akan disertainya. Kalau yang diinginkan adalah kriteria “baik” secara
teori, maka kita akan sepakat sebuah puisi yang baik adalah: memiliki diksi
(pilihan kata) yang tepat, kuat dan padu dengan menghadirkan metafora atau gaya
bahasa yang lain, kaya perbendaharaan kata, luas ruang permaknaannya, dan
sebagainya. Itu soal-soal teknik yang memang mesti dilalui oleh seseorang yang
akan menulis puisi.
Namun,
perlu kita ingat, bahawa puisi lebih bersifat subjektif. Ini bererti, kekuatan
individu si penyairnya dalam menyelami realiti kehidupan dan memberi makna atas
realiti itulah yang membuat puisi lebih sublim, lebih mendalam, lebih utuh.
Maka seorang penulis puisi, mahu tidak mahu, harus semaksimum mungkin
menghadirkan “kejujuran.” Sebab dengan kejujuran itulah kemudian
subjektivitinya muncul.
Apa
yang saya maksudkan sebagai kejujuran di sini adalah, bahawa puisi yang “baik”
akan selalu menghadirkan kekuatan perasaan dan fikiran si penyairnya. Kekuatan
perasaan dan fikiran itu akan mencuat daripada kejujuran si penyairnya dalam
mengatakan “sesuatu.” Jika anda hendak mengatakan “sesuatu” itu berupa rasa dan
fikiran tentang kesedihan yang teramat mendalam dalam diri, maka tidak cukup
hanya mengatakan dengan, “Oh, betapa hatiku sedih…” Sebab jika cukup dengan
demikian, yang bukan penyair pun boleh mengatakan hal yang sama bukan?
Maka
yang mesti dilakukan adalah menggali “kejujuran” daripada rasa sedih itu.
Seberat apakah rasa sedih itu? Sesakit apakah rasa pilu itu? Seperti terhiris
pisaukah? Seperti ketika kepala terantuk di tembok? Atau sakitnya hanya sekadar
seperti ujung jari ditusuk jarum? Nah, metafora-metafora mulai bermain. Semakin
baik anda menyusun diksi dengan perumpamaan yang tepat, sehingga dapat mewakili
“kesakitan” itu, maka semakin “baik”-lah nilai puisi yang hendak dibina itu.
Rupanya
tidak hanya dalam realiti kehidupan yang nyata sahaja kita harus mengedepankan
kejujuran, tapi juga dalam penciptaan karya sastera, khususnya puisi.
Selamat
berkarya.
Catat Ulasan