SATU
lagi unsur penting dalam penulisan puisi adalah pemilihan diksi. Disebabkan
puisi dikenali sebagai bentuk karya tulis yang menggunakan minimum kata,
cenderung tidak deskriptif dan naratif, maka pemilihan kata-kata yang tepat
untuk menggambarkan maksud dan nuansa tulisan haruslah ditekuni dengan saksama.
Termasuk menghindari pengulangan kata yang sama di dalamnya, sehingga kepada
penggunaan tanda baca dan penggunaan gaya bahasa yang sesuai. Misalnya ketika
kita ingin mengungkapkan rasa kesepian, kosa kata mana yang akan kita pilih:
sunyi, diam, damai, sendiri, sedih, sepi, senyap atau hening? Meskipun
berkonotasi sama, setiap kata yang terpilih akan memberikan warna yang berbeza
apabila disandingkan dengan kata-kata lainnya dalam keseluruhan puisi.
Bagaimana
cara memilih diksi yang tepat? Antaranya menerusi pembacaan. Ini jawapan yang
sering disampaikan para mentor perpuisian. Dengan banyak membaca, baik
buku-buku puisi, artikel, novel, surat khabar sampai kepada tulisan-tulisan
kritikan sekalipun akan memperkasa kosa-kata. Dengan mengetahui banyak kosa-kata, penyair akan
mempunyai pilihan yang lebih beragam dan memberikan warna serta jiwa tersendiri
bagi puisinya.
Diksi
atau pilihan kata menjadi satu hal yang pokok bagi seorang penyair. Dengan
pilihan kata yang seirama dengan nada perasaannya, berbagai pancaran semangat
dan ghairah berkarya mampu dimunculkan dengan variasi sentuhan yang luar biasa.
Dalam keadaan sedih, rindu, dendam, bersemangat, kasmaran dan mungkin juga
campuran berbagai rasa bakal ditemui.
Pemilihan
kata yang secara tidak langsung berhubungan dengan konteks sosio-kultural
penyair akan memberikan warna yang unik dalam karyanya. Dengan munculnya
beberapa patah kata lokal yang sulit dipadankan dengan linguafranca daerah penyair, menjadikan keseluruhan binaan puisi
itu lebih berwarna meski hal tersebut setidaknya 'menodai'.
Mengapa
'menodai' berada dalam tanda kutip, kerana ada yang beranggapan jika
menghadirkan kata lokal dalam karya yang bertujuan universal, maka terkesan
cenderung egoistis mengangkat kesukuannya. Tetapi di sisi yang lain hal ini
memang tidak dapat dielakkan akan memberikan warna dan ciri yang khas dan yang
tersendiri dalam kepelbagaian karya sastera. Hal ini barangkali tidak kita
sedari tetapi memang berlaku secara semula jadi.
Seterusnya,
hal yang paling menitikberatkan pada diksi ialah jangka waktu penciptaan puisi.
Begitu dinamiknya puisi, terdapat sesetengah penyair menyempurnakan sesebuah
puisi sehingga beberapa hari atau bahkan
bulan, hanya untuk sebuah puisi. Hal ini disebabkan penyair menginginkan suatu
pengalaman yang luar biasa selain terbaru dalam racikan rangkaian kalimatnya.
Pembaca
atau penikmat puisi memiliki tanggapan kreatif yang pelbagai hanya kerana puisi
yang dibacanya terdiri dari dua baris saja. Padahal, dalam baris tersebut
tersimpan makna yang berlipat jika memang hendak mendalaminya. Namun seringkali
disalah fahami oleh pembaca tentang dunia puisi. Hal ini berakibat, pembaca
yang juga tertarik ingin menulis puisi mengesampingkan betapa dalamnya makna
pada proses uji cuba pembuatan puisinya. Kelihatan puisi daripada penyair
'percubaan' ini terkesan seadanya tanpa ada pemilihan kata yakni diksi yang
serius. Alhasil karya yang dihasilkan pun bersifat biasa saja. Kata-kata yang
dirajut dalam karyanya ditampilkan dengan kata yang biasa dikomunikasikan dalam
bahasa sehari-hari. Tidak ada yang istimewa sekaligus menantang untuk menggali
makna dalam karya tersebut sehingga terjadi desakralisasi makna.
Hal
tersebut dapat ditepis jikalau penyair 'percubaan' ini kemudian giat mendalami
dunia puisi. Ini akan menjadi puisinya lebih berbobot lagi. Namun jika tidak,
maka proses desakralisasi tidak hanya terjadi pada makna tetapi juga pada tubuh
puisi tersebut secara keseluruhan.
Hakikat
tentang keberanian seseorang penyair memilih diksi untuk puisinya juga dituntut
dan malah merupakan esensi penulisan puisi. Pilihan kata yang tepat dan cermat
dapat mengukuhkan pengalaman penyair di dalam puisi yang ditulisnya. Pilihan
kata yang tepat dan cermat memungkinkan kata-kata tidak sekadar merekat dan
menempel satu sama lain, tetapi kata-kata itu dinamis dan bergerak serta
memberikan kesan yang hidup. Kata-kata seperti itu tidak sekadar menjadi
penanda, tetapi sekaligus menjadi dunia puitik itu sendiri. Oleh kerana itu,
untuk menulis puisi siapapun tidak boleh meremehkan atau mengabaikan unsur
diksi ini. Penulis puisi tidak boleh menafikan kosakata, metafora, bahasa kiasan, bangunan imaji dan saranan
retorika untuk melahirkan puisi-puisi yang bernilai tinggi.
Catat Ulasan