Sebuah Puisi yang Menjadi
“SEBUAH puisi yang menjadi adalah suatu dunia,”
kata penyair Chairil Anwar, dan paradoks ini akan menghantar kita untuk melihat
bagaimana puisi yang telah kita lahirkan itu menyatakan dirinya.
Sebuah puisi yang menjadi bukan sebuah puisi
yang semata-mata jadi tidak tinggal terhenti dan tergantung pada apa yang
membentuknya: kata dan konsep-konsep, “benda-benda” pampat yang tersaji dan
siap untuk selesai. Demikian pula kata Goenawan Mohamad. Sebuah puisi yang
“menjadi” selama-lamanya sebuah proses, bahkan seusai dibaca. Ia senantiasa
bergerak, hadir, menyelinap, setengah sembunyi, tampil kembali (dengan
isyarat-isyarat baru), mencipta tak henti-hentinya, berubah, menangguhkan
konklusi.
Kita tidak pernah tahu bila dan di mana
berakhirnya.
“Suatu dunia” sebaliknya bererti sebuah ruang
yang meskipun terbentang, punya penghujung. Sebuah dunia punya garis batas.
Chairil Anwar menjelaskan tentang “dunia” itu sebagai “dunia” yang diciptakan
kembali sang penyair, dari “benda (materi) dan rohani, keadaan alam dan
penghidupan sekelilingnya”, dan hal-hal lain yang “berhubungan dengan jiwa
dengan Dia”. Dalam erti ini kehadiran sang penyair, autoritinya, dan lingkungan
hidupnya, merupakan asal-usul dan sekaligus pemberi sosok yang definitif,
sebuah mikrokosmos, kepada sebuah puisi.
Dan itulah paradoks: puisi bergerak antara
“menjadi” dan “dunia”, sekaligus pertautan dan pergumulan yang tidak
habis-habisnya antara keduanya. Puisi hidup dan bertenaga dalam sifatnya
sebagai proses dan keterkaitannya kepada suatu “batas”. Puisi, seperti halnya
hasil karya sastera kreatif umumnya, sedikit banyak mengandung semacam premis
“realisme” mewakilkan dunia di luar sana, dan dengan demikian juga diberi
batasan oleh dunia di luar sana itu, di samping mendapatkan tata tertibnya dari
kesedaran simbolik tetapi serentak dengan itu juga hadir sebagai wacana yang
tidak mentransmisikan pesan yang tetap kecuali bahawa dirinya sendiri harus
menjadi suatu kemeriahan yang tanpa henti, dalam arus “menjadi”.
Tidak semua penyair mengakui paradoks itu.
Kita sering menemukan puisi-puisi, khususnya era awal, yang kita duga hampir
semata-mata mewakilkan “dunia”, dengan suatu pengalaman bahasa yang pada
dasarnya berpegang pada makna sebagai satu sosok sendiri, utuh, “univokal”, di
belakang kata-kata. Bahasa puisi bahkan bahagian dari sebuah agenda yang hendak
menjelaskan dan mengubah “dunia” itu. Dengan demikian ia bukan saja mempunyai
logos, tetapi juga mempunyai peranan.
Barangkali kita mahu kembali bertanya apakah
puisi yang kita tulis itu memang yang menjadi atau asal jadi. Cuba baca semula
karya masa sudah yang bertahun-tahun ditulis, sudah pasti ia jauh lebih muda
dan kurang matang. Para penyair yang tegar dan telah menulis ratusan buah puisi
sudah pasti bersedia untuk memberikan nilainya sendiri sama ada puisi-puisinya
telah benar-benar siap bukan asal siap. Sebagai ingatan kepada penyair
percubaan bahkan para penyair yang mapan sekalipun supaya siaga untuk meyakinkan pembaca bahawa
karya anda itu adalah yang siap yang nanti bakal dirungkai sebagai karya yang
telah menjadi. Tentu sahaja masanya tiba pada suatu hari yang lain. Misalnya
apabila sebuah kumpulan puisi yang diterbitkan itu merupakan kompilasi puisi
yang hebat dan bersiap untuk menolak sebarang kritikan bahawa karya yang
dihimpun itu bukan "sampah-sampah" yang diletakkan pada dunianya yang
tidak tepat.
Catat Ulasan